♥ Bolehkah Minta Dido’akan Orang Lain? ♥
Diterjemahkan secara bebas dari Fatwa Liqho’at Al Bab Al Maftuh, 46/10 (Asy Syamilah) oleh Muhammad Abduh Tuasikal
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin -rahimahullah- pernah ditanya :
Wahai Syaikh, apakah permintaan seseorang pada saudaranya yang dinilai sholeh untuk mendoakan dirinya dan saudaranya ini mendoakan dirinya dalam keadaan dia (yang meminta) tidak mengetahuinya, apakah ini termasuk mengurangi tawakkal orang yang meminta didoakan?
Jika memang demikian, bagaimana penilaian engkau terhadap kisah Umar bin Al Khathab yang meminta pada Uwais Al Qorni agar mendoakan dirinya, padahal Umar lebih utama dari Uwais?
Syaikh rahimahullah menjawab :
Permintaan seseorang kepada saudaranya agar mendoakan dirinya, -perlu diketahui- bahwa di dalamnya sebenarnya terdapat bentuk meminta-minta pada manusia. Kalau kita melihat pada sejarah yaitu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dibaiat oleh para sahabatnya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada mereka, “Janganlah kalian meminta pada orang lain sedikit pun juga (syai’an).” Syai’an (sedikit pun) di sini adalah kata dalam bentuk nakiroh . Dalam kalimat tadi, kata nakiroh tersebut terletak dalam konteks nafi (peniadaan). Sehingga yang dimaksud sedikit pun di situ adalah umum (mencakup segala sesuatu). Inilah kaedah ushuliyah (dalam ilmu ushul).
Dalam mempraktekkan maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, di antara sahabat sampai-sampai ada tongkatnya terjatuh sedangkan dia berada di atas kendaraanya. Dia langsung turun dan mengambil tongkatnya tersebut, dia tidak mengatakan pada saudaranya yang lain, “Tolong ambilkan tongkatku.” (Mereka tidak mau meminta tolong) karena mereka telah berbaiat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak meminta pada orang lain sedikit pun juga.
Seandainya jika di dalam hal ini cuma sekedar meminta maka tidak mengapa. Akan tetapi dalam kondisi meminta-minta seperti terkadang dalam hati seseorang terdapat sikap memandang rendah diri sendiri dan berburuk sangka pada dirinya sehingga dia meminta pada orang lain. Lalu dia mengatakan, “Ya akhi (saudaraku) …!”
Seharusnya kita berbaik sangka kepada Allah ‘azza wa jalla. Jika memang engkau bukan orang yang maqbul doanya (terkabul doanya), maka tentu juga doa saudaramu tidak bermanfaat bagimu. Oleh karena itu, wajib bagimu berbaik sangka pada Allah. Janganlah engkau menjadikan antara dirimu dan Allah perantara agar orang lain berdoa pada Allah untukmu. Lebih baik jika engkau ingin berdoa, langsung mintalah pada Allah.
Ingatlah, Allah Ta’ala berfirman,
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً
“Berdo’alah kepada Rabbmu dengan merendahkan diri, dengan suara yang lembut.” (QS. Al A’rof [7] : 55)
Doamu sendiri kepada Allah adalah suatu ibadah. Bagaimana engkau membuat dirimu luput dari ibadah yang mulia ini?
Demikian pula, sebagian orang jika meminta kepada saudaranya yang terlihat sholeh untuk mendoakan dirinya, maka orang ini terkadang menyandarkan diri pada do’a orang sholeh tadi. Bahkan sampai-sampai dia tidak pernah mendoakan dirinya sendiri (karena keseringannya meminta pada orang lain).
Kemudian muncul pula masalah ketiga. Boleh jadi orang yang dimintakan do’a tadi menjadi terperdaya dengan dirinya sendiri. Orang sholeh ini bisa menganggap bahwa dirinya-lah yang pantas untuk dimintakan doa. (Inilah bahaya yang ditimbulkan dari meminta doa pada orang lain)
Namun, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memiliki pendapat yang cukup bagus. Beliau rahimahullah mengatakan :
Apabila engkau meminta pada saudaramu untuk mendoakan dirimu yaitu engkau ingin saudaramu juga mendapatkan kebaikan dengan berbuat baik padamu atau engkau ingin agar dia juga mendapatkan manfaat karena telah mendoakanmu dalam keadaan dirimu tidak mengetahuinya -doa seperti ini akan diaminkan oleh malaikat dan malaikat pun berkata : engkau pun akan mendapatkan yang semisalnya-, maka seperti ini tidak mengapa (diperbolehkan) .
Namun, apabila yang engkau inginkan adalah semata-mata kemanfaatan pada dirimu saja, maka inilah yang tercela.
Adapun mengenai kisah Umar (bin Al Khathab) –radhiyallahu ‘anhu- yang meminta pada Uwais (Al Qorni) untuk mendoakan dirinya, maka ini adalah perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ini adalah khusus untuk Uwais saja (bukan yang lainnya). Oleh karena itu, tidak pernah diketahui bahwa sahabat lain meminta pada Umar untuk mendoakan dirinya atau meminta pada Abu Bakar, “Wahai Abu Bakar, berdoalah pada Allah untuk kami.” Padahal Abu Bakar lebih utama daripada Umar dan lebih utama daripada Uwais, bahkan lebih utama dari sahabat lainnya. Jadi permintaan Umar pada Uwais ini hanyalah khusus untuk Uwais. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memotivasi para sahabat, siapa saja yang bertemu Uwais, maka katakanlah padanya, “Wahai Uwais, berdoalah pada Allah untukku.” Kisah Uwais ini hanyalah khusus untuk Uwais saja, tidak boleh digeneralkan pada yang lainnya.
Akhirnya, kami menemukan jawaban yang kami cari sejak dulu yaitu bagaimana meminta pada orang lain untuk mendoakan kita. Penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin ini sudah sangat gamblang. Jadi yang tercela adalah jika kita meminta saud...ara kita mendoakan kita namun kita ingin agar doa tersebut hanya bermanfaat pada diri kita. Namun, jika maksud kita dengan permintaan tersebut adalah agar saudara kita juga mendapatkan manfaat sebagaimana yang kita peroleh, maka ini tidak mengapa. Perhatikanlah salah satu keutamaan orang yang mendoakan saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ “Do’a seorang muslim kepada saudaranya ketika saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisinya ada malaikat (yang memiliki tugas mengaminkan do’anya kepada saudarany, pen). Ketika dia berdo’a kebaikan kepada saudaranya, malaikat tersebut berkata : Amin, engkau akan mendapatkan yang sama dengannya.” (HR. Muslim no. 2733).
Jika manfaat seperti dalam hadits ini yang diinginkan pada saudara kita –yaitu saudara kita akan mendapatkan timbal balik dari doanya pada kita-, maka seperti ini tidaklah mengapa.
Jika saudara kita mendoakan kita, maka dia juga akan mendapatkan yang semisalnya. Kita meminta padanya agar mendoakan kita tetap istiqomah dalam agama ini, maka dia juga akan diberi taufik oleh Allah untuk istiqomah. Jika memang kemanfaatan seperti ini yang kita ingin agar saudara kita juga mendapatkannya, maka bentuk permintaan doa seperti ini tidaklah mengapa. Jadi, bedakanlah dua kondisi ini.
Oleh karena itu, sebaiknya jika kita ingin meminta doa pada saudara kita maka kita juga menginginkan dia mendapatkan kemanfaatan sebagaimana yang nanti kita peroleh. Kita minta padanya agar mendoakan kita lulus ujian. Maka seharusnya kita juga berharap dia mendapatkan manfaat ini yaitu lulus ujian. Kita minta padanya agar mendoakan tetap isiqomah ngaji. Maka seharusnya kita juga berharap dia mendapatkan manfaat ini yaitu tetap istiqomah ngaji. Jadi, sebaiknya yang kita katakan padanya adalah : Wahai akhi, doakan ya agar aku dan kamu bisa lulus ujian. Atau : Wahai akhi, doakan ya agar aku dan kamu bisa tetap istiqomah ngaji. Itulah yang lebih baik. Atau juga bisa kita niatkan bahwa semoga do’a dia pada kita juga bermanfaat bagi dirinya.Semoga kita diberi keistiqomahan dalam agama ini. Semoga kita selalu mendapat ilmu yang bermanfaat, dimudahkan dalam amal sholeh dan selalu diberi rizki yang thoyib.
Diselesaikan di Panggang-Gunung Kidul, menjelang waktu Ashar, 3 Dzulqo’dah 1429 H
===============
Renungan bersama untuk kita semua para pecinta da'wah Ahlus Sunnah wal Jama'ah... semoga bermanfaat.....
Beberapa Kesalahan Yang Sering Dilakukan Oleh Ikhwan-Akhwat Yang Baru “Ngaji”
Kami sempat melakukanya diawal-awal kami mengenal dakhwah ahlus sunnah wal jama’ah karena kebodohan kami akan ilmu. kemudian kami ingin membaginya supaya ikhwan-akhwat bisa mengambil pelajaran dan mengingatkan mereka yang telah lama mengenal anugrah dakwah ahlus sunnah khususnya kami pribadi. Beberapa hal tersebut ada sepuluh berdasar pengalaman kami:
Merasa lebih tinggi derajat dan akan terbebas dari dosa karena sudah merasa mengenal Islam yang benar
Terlalu semangat menuntut ilmu agama sampai lupa kewajiban yang lain
Kaku dalam menerapkan ilmu agama padahal Islam adalah agama yang mudah
Keras dan kaku dalam berdakwah
Suka berdebat dan mau menang sendiri bahkan menggunakan kata-kata yang kasar
Menganggap orang diluar dakwah ahlus sunnah sebagai saingan bahkan musuh
Berlebihan membicarakan kelompok tertentu dan ustadz/tokoh agama tertentu
Tidak serius belajar bahasa arab
Tidak segera mencari lingkungan dan teman yang baik
Hilang dari pengajian dan kumpulan orang-orang yang shalih serta tengelam dengan kesibukan dunia
Kemudian kami coba jabarkan satu-persatu.
1. Merasa lebih tinggi derajat dan akan terbebas dari dosa karena sudah merasa mengenal Islam yang benar
Ketika awal-awal mengenal dakwah ahlus sunnah bisa jadi ada rasa bangga dan sombong bahwa ia telah mendapat hidayah dan merasa ia sudah selamat dunia-akherat. Padahal ini adalah Ini baru fase yaq’zah [keterbangunan], awal mengangkat jangkar kapal, baru akan mulai mengarungi ilmu, amal, dakwah dan bersabar diatasnya.
Maka janganlah kita menganggap diri kita akan selamat dari dosa dan maksiat hanya karena baru mengenal dakwah ahlus sunnah, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
فَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui siapa orang yang bertakwa.” [An-Najm: 32]
Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuz Abadi rahimahullah menukil penafsiran Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma tentang ayat ini:
فَلَا تبرئوا أَنفسكُم من الذُّنُوب {هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقى} من الْمعْصِيَة وَأصْلح
“Jangan kalian membebaskan diri kalian dari dosa dan Dialah yang paling mengetahui siapa yang bertakwa/takut dari maksiat dan membuat perbaikan” [Tanwirul Miqbaas min tafsiri Ibni Abbaas 1/447, Dar Kutubil ‘Ilmiyah, Libanon, Asy-Syamilah]
Seharusnya jika kita menisbatkan pada dakwah salafiyah maka ingatlah pesan salaf [pendahulu] kita yaitu sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu :
لو تعلمون ذنوبي ما وطئ عقبي اثنان، ولحثيتم التراب على رأسي، ولوددت أن الله غفر لي ذنبا من ذنوبي، وأني دعيت عبد الله بن روثة. أخرجه الحاكم وغيره.
“Kalau kalian mengetahui dosa-dosaku maka tidak akan ada dua orang yang berjalan di belakangku dan sungguh kalian akan melemparkan tanah di atas kepalaku, dan aku berangan-angan Allah mengampuni satu dosa dari dosa-dosaku dan aku dipanggil Abdullah bin Kotoran.” [HR.Hakim Al-Mustadrok 3/357 no 5382, shahih]
2. Terlalu semangat menuntut ilmu agama sampai lupa kewajiban yang lain
Semua ikhwan-akhwat baru “ngaji” pasti semangat menuntut ilmu, karena banyak ilmu agama yang selama ini mereka yakini kurang tepat dan mereka dapatkan jawabannya dalam manhaj dakwah salafiyah yang ilmiyah. Akan tetapi ada yang terlalu semangat menuntut ilmu sampai lupa kewajibannya. Contoh kasus:
-ikhwan kuliah dikampus, ia diberi amanah oleh orang tuanya untuk belajar dikota A. Menyelesaikan studinya, pulang membawa gelar dan membahagiakan keduanya. Kedua orang tua bersusah payah membiayainya. Akan tetapi ia sibuk belajar agama disana-disini dan lalai dari amanah orang tua yang WAJIB juga ditunaikan. Nilainya hancur dan terancam Drop Out. Tentu saja orang tuanya bertanya-tanya dan malah menyalahkan dakwah salafiyah yang ia anut. Iapun tidak menjelaskan dengan baik-baik kepada kedua orang tuanya.
-seorang suami yang sibuk menuntut ilmu agama dan menelantarkan istri dan anaknya. Melakukan safar tholabul ilmi ke berbagai daerah, langsung membeli kitab-kitab yang banyak dan mahal. Padahal ia agak kesusahan dalam ekonomi dan tidak memberikan pengertian kepada istri dan anak-anaknya.
Kita seharusnya memperhatikan firman Allah Ta'ala:
وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” [Al-An’am: 141]
Dan jika kita perhatikan, orang-orang seperti ini hanya [maaf] “panas-panas tahi ayam”. Semangat hanya beberapa bulan saja setelah itu kendor bahkan futur [malas dan jenuh].
3. Kaku dalam menerapkan ilmu agama padahal Islam adalah agama yang mudah
Allah Ta’ala mengkhendaki kemudahan bagi hamba-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” [Al-Baqarah:185]
Sebagian ikhwan-akhwat yang baru “ngaji” mungkin dikarenakan masih sedikitnya ilmu terlalu kaku menerapkan ilmu agama sehingga sehingga nampaknya islam adalah agama yang sulit dan tidak fleksibel. Contoh kasus:
-seorang akhwat ingin memakai cadar agar bisa menerapkan dan melestarikan sunnah agama islam. Akan tetapi semua keluarganya melarangnya bahkan keras karena nanti di sangka teroris dan lingkungan akhwat tersebut sangat aneh dengan cadar. Ia sudah menjelaskan dengan baik-baik tetapi keluarganya yang sangat awam masih belum bisa menerima. Orang tuanya bahkan tidak ridha dan hubungan silaturahmi dengan keluarga menjadi terputus. Dalam kasus ini:
Apabila ia menyakini bahwa cadar hukumnya sunnah maka diterapkan kaidah:
درع المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menolak mafsadat didahulukan daripada mendatangkan mashlahat”
Jika ia memakai cadar maka mendatangkan mashlahat yaitu melaksanakan sunnah, jika ia tidak pakai cadar maka menolak mafsadat yaitu tidak ridhonya ortu dan putus silaturhami. Maka dengan kaidah ini ia wajib menolak mafsadat dengan tidak memakai cadar. Selain itu hokum wajib didahulukan dari hokum sunnah.
Jika ia berkeyakinan bahwa cadar hukumnya wajib, konsekuensinya ia tidak memakai cadar maka akan berdosa. Maka diterapkan kaidah:
إذا تعارض ضرران دفع أخفهما.
” Jika ada dua mudharat (bahaya) saling berhadapan maka di ambil yang paling ringan “
Dalam hal ini tentu saja yang paling ringan adalah tidak memakai cadar karena tidak ridhanya orang tua lebih berat konsekuensinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ
“Ridha Allah ada pada ridha orang tua. Dan murka-Nya ada pada murka orang tua.” [HR. Tirmidzi no. 1899, dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 3500]
-begitu juga dengan kasus seorang akhwat kuliah diluar kota, ia harus safar tanpa mahram dan tidak tahan kuliah ikhtilat, maka ia memutuskan tidak melanjutkan kuliah. Sehingga diminta pulang oleh orang tuanya. Akan tetapi ditempatnya tidak ada kajian dan mejelis ilmu sehingga ia menjadi futur karena ia baru-baru “ngaji”. Sedangkan di kota tempat ia kuliah ada banyak majelis ilmu. Maka keputusan ia berhenti kuliah kurang tepat.
Dan banyak kasus yang lain. Intinya kita harus banyak-banyak berdiskusi dengan ustadz dan orang yang berilmu jika mendapatkan seuatu dalam agama yang berat dan sesak terasa jika kita jalankan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ
“Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu . Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.” [Ali Imron:159]
4. Keras dan kaku dalam berdakwah
Mungkin ini disebabkan karena terlalu semangat ingin meyebarkan dakwah manhaj salafiyah. Akan tetapi karena sedikitnya ilmu tentang tata-cara berdakwah, dakwah terkesan kaku dan keras. Contoh kasus:
-seorang pemuda yang baru mengenal dakwah, ketika pulang langsung menceramahi orang tuanya dan kakeknya. Dan berkata “ini haram”, itu bid’ah, ini syirik”. Tentunya saja kakeknya akan berkata, “kamu anak ingusan kemaren sore, baru saya anti popokmu, sudah berani ceramahi saya”?
-seorang ikhwan yang baru tahu hukum tahlilan setelah kematian adalah bid’ah. kemudian ia datang kekumpulan orang yang melakukanya dalam suasana duka. Ia sampaikan ke majelis tersebut bahwa ini bid’ah.maka bisa jadi ia pulang tinggal nama saja.
-seorang akhwat yang ingin mendakwahkan temannya yang masih sangat awam atau baru masuk islam. Ia langsung mengambil tema tentang cadar, jenggot, isbal, bid’ah, hadist tentang perpecahan dan firqoh. Ia juga langsung membicarakan bahwa aliran ini sesat, tokoh ini sesat dan sebagainya. Seharusnya ia mengambil tema tauhid dan keindahan serta kemudahan dalam islam.
Seharusnya berdakwah dengan cara yang lembut serta penuh hikmah. Dan berdakwah ada tingkatan, cara dan metodenya. Berpegang pada prinsip yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan:
يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا
“Mudahkan dan jangan mempersulit, berikan kabar gembira dan jangan membuat manusia lari” [HR. Bukhari, Kitabul ‘Ilmu no.69]
5. Suka berdebat dan mau menang sendiri bahkan menggunakan kata-kata yang kasar
Karena terlalu semangat berdakwah akan tetapi tanpa disertai ilmu. Maka ada sebagian ikhwan-akhwat baru “ngaji” sering terjatuh dalam kebiasaan suka berdebat. Dan parahnya, ia baru hanya tahu hukumnya saja, tidak mengetahui dan menghapal dalil serta tidak tahu metode istidlal [mengambil dalil]. Jadi yang ada hanya berdebat saling “ngotot” tentang hukum sesuatu. apalagi mengeluarkan katakata yang kasar sampai mencaci-maki dan menyumpah-serapah.
Memang ada yang sudah hapal dalilnya dan mengetahui metode istidlal , akan tetapi ia tidak membaca situasi dakwah, siapa objek dakwah, waktu berdakwah ataupun posisi dia saat mendakwahkan.
Dan ada juga yang berdebat karena ingin menunjukkan bahwa ia ilmunya tinggi, banyak menghapal ayat dan hadist, mengetahui ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya.
Memang saat itu kita menang dalam berdebat karena manhaj salafiyah ilmiyah. Akan tetapi tujuan berdakwah dan nasehat tidak sampai. Orang tersebut sudah dongkol atau sakit hati karena kita berdebat dengan cara yang kurang baik bahkan menggunakan kata-kata yang kasar. Hatinya tidak terima karena merasa sudah dipermalukan, akibatnya ia gengsi menerima dakwah. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ،
“Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat”. [HR. Muslim 55/95]
Yang dimaksud dengan nasehat adalah mengkhendaki kebaikan. Jadi bukan tujuannya menunjukan kehebatan berdalil dan menang dalam berdebat.
Mengenai suka berdebat para nabi dan salafus shalih sudah memperingatkan kita tentang bahayanya. Nabi Sulaiman ‘alaihis salam berkata kepada anaknya:
يَا بُنَيَّ، إِيَّاكَ وَالْمِرَاءَ، فَإِنَّ نَفْعَهُ قَلِيلٌ، وَهُوَ يُهِيجُ الْعَدَاوَةَ بَيْنَ الْإِخْوَانِ "
“Wahai anakku, tinggalkanlah mira’ (jidal, mendebat karena ragu-ragu dan menentang) itu, karena manfaatnya sedikit. Dan ia membangkitkan permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.” [Syu’abul Iman: 8076 Al-Baihaqi, cetakan pertama, Darul Rusdi Riyadh, Asy-syamilah]
Mengenai berkata-kata kasar, maka ini tidak layak keluar dari lisan seseorang yang mengaku menisbatkan diri pada manhaj salaf. Renungkan firman Allah Ta’ala:
اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى ْ فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut". [At-Thoha:43-44]
Kepada orang selevel Firaun saja harus berdakwah dengan kata-kata yang lemah lembut, apalagi kita akan mendakwahkan saudara kita seiman?. Maka gunakanlah kata-kata yang lembut dan bijaksana lagi penuh hikmah.
6. Menganggap orang diluar dakwah ahlus sunnah sebagai saingan bahkan musuh
Ikhwan-akhwat baru “ngaji” yang sedang semangat-semangatnya berdakwah ada sebagian yang melihat orang diluar dakwah ahlus sunnah adalah saingan mereka. Padahal mereka adalah sasaran dakwah juga bukan saingan dakwah. Mereka adalah saudara seiman kita. Mereka berhak medapatkan hak-hak persaudaraan dalam islam. Seharusnya kita lebih mengasihi dan menyayangi mereka karena mereka punya semangat membela dan menyebarkan islam hanya saja mereka sudah terlanjur salah dalam memahami Islam. Mereka tidak seberuntung kita medapatkan anugrah dakwah ahlus sunnah. Contohnya:
-dikampus, ketika bertemu dengan teman-teman yang berdakwah tidak dengan dakwah ahlus sunnah, maka mukanya sangar, cemberut, tidak mau menyapa dan tidak membalas salam. Tidak mau duduk bermejelis dengan mereka dan merasakan suasana kekeluargaan islami. Dan parahnya, malah dengan orang kafir mereka lebih akrab dan hangat. Ketahuilah mereka saudara-sudara seiman kita yang lebih patut mendapat perhatian dan dakwah dari kita. Tidak heran jika saudara-saudara kita mengatakan:
“kok kita sesama orang islam saling gontok-gontokan, tapi berbaikan dengan orang kafir”
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” [Al-Hujurat:10]
-dikampung, ada ustadz /kiayi haji/ tuan guru/ tokoh masyarahat yang berdakwah tidak dengan dakwah ahlus sunnah. Maka ada sebagian ikhwan-akhwat yang seolah-olah meremehkan mereka, menganggap mereka aliran sesat, ilmunya salah dan ngawur, Tidak menghormati mereka. Padahal belum tentu kita lebih baik dari mereka. Bisa jadi mereka amalnya sedikit yang benar tapi sangat ikhlas, mengalahkan amal kita yang –sekiranya benar insyaAllah- tapi tidak ikhlas dan dipenuhi dengan riya’ dan dengan rasa sombong mampu beramal. Seharusnya kita memposisikan mereka sesuai dengan posisi mereka, menghormati mereka dan memilih kata-kata dakwah yang baik dan tidak terkesan menggurui. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda memerintahkan agar kita memposisikan manusia sesuai dengan kedudukuannya masing-masing. Salah satu penerapan beliau adalah surat beliau kepada raja Romawi Heraklius:
باسم الله الرحمان الرحيم
من محمد رسوا الله إلى عظيم الروم
“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dari Muhammad utusan Allah kepada pembesar/ tokoh besar Romawi”
Kemudian jika mereka tidak menerima dakwah kita maka ada sebagian ikhwan-akhwat yang langsung mengangapnya sebagai musuh. Mereka akan merusak agama islam, mencap sebagai ahli bid’ah dan syirik dan tahu kaidah pembid’ahan dan pengkafiran. Padahal mereka tetap saudara kita dan masih berhak mendapatkan hak-hak persaudaraan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا تحاسدوا ولا تَناجَشُوا ولا تباغضوا ولا تدابروا ولا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ,وكونوا عباد الله إخواناً. اَلْمُسْلِمُ أَخُو المسلمِ: لا يَظْلِمُهُ ولا يَخْذُلُهُ ولا يَكْذِبُهُ ولا يَحْقِرُهُ
“Jangan kalian saling hasad, jangan saling melakukan najasy, jangan kalian saling membenci, jangan kalian saling membelakangi, jangan sebagian kalian membeli barang yang telah dibeli orang lain, dan jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim bagi lainnya, karenanya jangan dia menzhaliminya, jangan menghinanya, jangan berdusta kepadanya, dan jangan merendahkannya.[HR. Muslim no. 2564]
Jika mereka tidak menerima, maka tugas kita hanya menyampaikan saja. Mereka terima Alhamdulillah , jika tidak diterima jangan dipaksa dan dimusuhi. Karena kita hanya memberikan hidayah ‘ilmu wal bayan berupa penjelasan, sedangkan hidayah taufiq hanya ditangan Allah. Seharusnya kita mendoakan mereka semoga mandapatkan hidayah, bukan dimusuhi.
Lihatlah tauladan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala pergi ke Thaif untuk berdakwah sekaligus meminta perlindungan kepada mereka dari tekanan kafir Quraisy setelah meninggalnya paman beliau Abu Thalib. Akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diusir dengan lemparan batu, caci-maki dan ejekan. Tubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia sampai berdarah-darah. Perasaan beliau makin sedih karena saat itu tahun-tahun ditinggal juga oleh istrinya Khadijah radhiallahu ‘anha, pendukung dakwah beliau. Kemudian datanglah malaikat Jibril ‘alaihissalam memberi tahu bahwa malaikat penjaga bukit siap diperintah jika beliau ingin menimpakan bukit tersebut kepada orang-orang Thaif. Malaikat tersebut berkata:
يَا مُحَمَّدُ، فَقَالَ، ذَلِكَ فِيمَا شِئْتَ، إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمُ الأَخْشَبَيْن
“Wahai muhammad, terserah kepada engkau, jika engkau mnghendaki aku menghimpitkan kedua bukit itu kepada mereka”
Tapi apa yang keluar dari lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ? doa kepada penduduk Thoif. Beliau berdoa:
بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلاَبِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ، لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
“Bahkan aku berharap Allah akan mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang akan menyembah Allah semata, tidak disekutukanNya dengan apa pun” [kisah yang panjang bisa dilihat di shahih Bukhari no. 3231]
Subhanallah, kita sangat jauh dari cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah. Dan terbukti doa beliau mustajab. Penduduk thoif tidak lama menjadi salah satu pembela islam dan mengikuti peperangan jihad membela islam.
Mengenai berwajah sangar, seram dan cemberut terus seolah-olah prajurit perang yang marah. Mungkin ini salah persepsi sebagian ikhwan-akhwat karena mereka sering dan terlalu banyak melihat syirik, bid’ah dan maksiat dimana-mana. Seolah-olah menunjukan mereka ingin mengingkari semuanya. Tetapi Islam tidak mengajarkan demikian, seorang muslim berprinsip “Berwajah ceria bersama manusia dan berlinang air mata akan dosanya saat sendiri bermunajat kepada rabbnya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
“Janganlah engkau remehkan suatu kebajikan sedikitpun, walaupun engkau bertemu dengan saudaramu dengan wajah yang ceria/bermanis muka”. [HR. Muslim no. 2626]
7. Berlebihan membicarakan kelompok tertentu dan ustadz/tokoh agama tertentu
Ada sebagian ikhwan-akhwat yang terlalu tenggelam dan sibuk membicarakan masalah perpecahan dan firqoh. Memang kita harus mempelajarinya agar tahu mana yang selamat, akan tetapi kita jangan terlalu menyibukkan diri membicarakan kelompok-kelompok tersebut. Tema yang terlalu sering diangkat dalam kumpul-kumpul,majelis dan pengajian adalah sesatnya kelompok ini, jangan ikut kajian dengan kelompok itu, menerapkan hajr/memboikot disana-sini tanpa tahu kaidah meng-hajr. Akhirnya sibuk dan lalai mempelajari tauhid, aqidah, akhlak, fiqh keseharian dan bahasa arab.
Hendaknya kita lebih memprioritaskan pembicaraan tentang tauhid dan akidah. Itulah seruan pertama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ingin berdakwah. Beliau bersabda kepada Muadz radhiallahu 'anhu yang diutus ke Yaman:
إنك تأتي قوما من أهل الكتاب، فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله " - وفي رواية: إلى أن يوحدوا الله
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum Ahli kitab maka hendaklah dakwah yang pertama kali engkau sampaikan kepada mereka adalah syahadat Laa ila Illallah , dalam riwayat yang lain: supaya mereka mentauhidkan Allah”. [Muttafaqun ‘alaih, lihat kitab tauhid syaikh Muhhammad bin Abdul Wahhab]
Selain membicarakan kelompok, sebagian ikhwan-akhwat juga sibuk membicarakan kesalahan dan kejelekan ustadz/tokoh tertentu. Mencap sebagai ahli bid’ah tanpa tahu kaidah pembid’ahan atau mencap kafir tanpa tahu kaidah pengkafiran. Tidak mau ikut pengajian ustadz fulan, bahkan sampai tingkat ulama. Syaikh fulan terjatuh dalam aqidah murji’ah, syaikh fulan ikut merestui kelompok sesat, syaikh fulan sudah ditahzir/diperingati oleh syaikh fulan. Parahnya, info yang sampai ke dia hanya qiila wa qoola, berita-berita yang tidak jelas dan belum tahu apakah sudah tabayyun/klarifikasi atau belum. Akhirnya sibuk mencari-cari aib orang lain. Membicarakan kesalahan orang lain.
Seharusnya kita lebih banyak mencari kesalahan kita, merenungi dosa-dosa kita yang banyak. Seharunya kita ingat perkataan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
يبصر أحدكم القذاة في أعين أخيه، وينسى الجذل- أو الجذع - في عين نفسه
"Salah seorang dari kalian dapat melihat kotoran kecil di mata saudaranya tetapi dia lupa akan kayu besar yang ada di matanya." [HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 592. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih]
Ustadz/ tokoh tersebut jika memang ia salah. Belum tentu kita lebih baik dari mereka. Bisa jadi amal mereka sedikit yang benar tapi sangat ikhlas. Sedangkan kita, seandainya banyak amal kita yang sesuai sunnah tapi tidak ikhlas, dipenuhi riya’ dan rasa sombong mampu beramal banyak. Ajaran islam mengajarkan agar kita tawaddhu’, rendah hati dan mengaggap orang lain lebih baik dari kita.
‘Abdullah Al Muzani rahimahullah berkata,
إن عرض لك إبليس بأن لك فضلاً على أحد من أهل الإسلام فانظر، فإن كان أكبر منك فقل قد سبقني هذا بالإيمان والعمل الصالح فهو خير مني، وإن كان أصغر منك فقل قد سبقت هذا بالمعاصي والذنوب واستوجبت العقوبة فهو خير مني، فإنك لا ترى أحداً من أهل الإسلام إلا أكبر منك أو أصغر منك.
“Jika iblis memberikan was-was kepadamu bahwa engkau lebih mulia dari muslim lainnya, maka perhatikanlah. Jika ada orang lain yang lebih tua darimu, maka seharusnya engkau katakan, “Orang tersebut telah lebih dahulu beriman dan beramal sholih dariku, maka ia lebih baik dariku.” Jika ada orang lainnya yang lebih muda darimu, maka seharusnya engkau katakan, “Aku telah lebih dulu bermaksiat dan berlumuran dosa serta lebih pantas mendapatkan siksa dibanding dirinya, maka ia sebenarnya lebih baik dariku.” Demikianlah sikap yang seharusnya engkau perhatikan ketika engkau melihat yang lebih tua atau yang lebih muda darimu.”[ Hilyatul Awliya’ 2/226, Abu Nu’aim Al Ashbahani, Asy-Syamilah]
8. Tidak serius belajar bahasa arab
Mungkin ikhwan-akhwat yang baru “ngaji” sekalipun sudah tahu bahwa hukum mempelajari bahasa Arab, yaitu fardhu. Ada juga yang merinci fardhu ‘ain bagi mereka yang mampu belajar dan bagi orang-orang yang akan banyak berbicara agama seperti calon ustadz dan aktifis dakwah. Kemudian fardhu kifayah bagi mereka yang tidak mampu otaknya seperti orang yang sangat tua. Sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah:
“Disana ada bagian dari bahasa Arab yang wajib ‘ain dan ada yang wajib kifayah. Dan hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Abi Syaibah, dari ‘Isa bin Yunus dari Tsaur, dari Umar bin Yazid, beliau berkata: Umar bin Khottob menulis kepada Abu Musa Al-Asy’ari (yang isinya), “Pelajarilah As-Sunnah, pelajarilah bahasa Arab dan I’roblah Al-Qur’an karena Al-Qur’an itu berbahasa Arab.” [Iqtidho’Shirotal Mustaqim hal 527 jilid I, tahqiq syaikh Nashir Abdul karim Al–‘Aql, Wizarot Asy Syu-un Al Islamiyah wal Awqof]
Bahasa Arab sangat penting, karena sarana memahami islam. Sehingga kita bisa mudah menghapal Al-quran dan hadist, mudah tersentuh dengan Al-Quran, memahami buku-buku ulama. Hanya orang yang menguasai bahasa arab yang bisa merasakan manisnya menuntut ilmu.
Tetapi ada sebagian ikhwan-akhwat yang lalai belajar bahasa Arab, tidak serius dan ada juga yang menyerah belajar bahasa arab. Hal ini membuat mereka kurang kokoh dalam beragama. Dan setelah diperhatikan, Ikhwan-akhwat yang kemudian kendor menunut ilmu dan hilang semangat belajar agama bahkan futur adalah mereka yang tidak serius belajar bahasa arab.
Prosesnya mungkin seperti ini: pertama mereka semangat ikut kajian disana-disini, kemudian mulai bosan dengan kajian yang temanya itu-itu saja. Dan berpikir materi seperti ini bisa dibaca dirumah dan diinternet. Akhirnya hilang dari pengajian dan kumpulan orang-orang shalih. Kemudian dengan membacapun agak bosan [inipun kalau ia rajin membaca], Karena buku-buku terjemahan dan artikel materinya sangat terbatas. Akhirnya ia malah disibukkan dengan hal-hal yang kurang bermanfaat seperti facebook dan internet terus, ngobrol-ngobrol tentang akhwat padahal belum mau nikah dan lain-lain. Bahkan terjerumus dalam hal-hal yang haram. Ibnu Qayyim Al Jauziyah berkata:
“Jika dirimu tidak disibukkan dengan hal-hal yang baik, pasti akan disibukkan dengan hal-hal yang batil” (Al Jawabul Kaafi Liman Sa’ala ‘An Ad Dawa Asy Syafi, hal. 109).
Berbeda dengan mereka yang mengusai bahasa arab. Mereka semakin tertantang untuk belajar banyak ilmu dan tingkatan ilmu yang lebih tinggi seperti ilmu mustholah hadist, kaidah fiqh, ushul fiqh, mendengarkan muhadharah/ceramah syaikh dan menelaah kitab-kitab ulama yang tebal dan berjilid-jilid. Sehingga mereka selalu disibukkan dengan ilmu, dakwah dan amal. Merasakan kebahagian dan manisnya ilmu syar’i.
9. Tidak segera mencari lingkungan dan teman yang baik
Lingkungan dan teman sangat penting, karena sangat berpengaruh dengan diri kita. Ikhwan-akhwat yang baru “ngaji” biasanya masih mudah goyang dan tidak stabil, karena diperlukan teman-teman yang shalih dan baik. Bisa dilakukan dengan tinggal di wisma atau kost-kostan khusus ikhwan dan khusus akhwat. Atau jika memungkinkan pindah kelingkungan sekitar pondok atau perumahan yang banyak ikhwannya. Atau jika tidak bisa, sering-sering silaturahmi ke ikhwan-akhwat yang shalih dan shalihah serta berkumpul bersama mereka. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar(jujur)." [ At Taubah: 119]
Jika tidak, maka sudah sering terdengar cerita banyak ikhwan-akhwat yang dulunya semangat “ngaji” sekarang sudah futur dan hilang dari peredaran dakwah.Bahkan lingkungan dan teman yang baik dibutuhkan bagi semua orang.
Mengenai teman yang baik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” [HR. Bukhari no. 2101]
Perlu diperhatikan bahwa hati manusia lemah, apalagi jika sendiri. Perlu dukungan, saling menasehati antarsesama. Selevel Nabi Musa ‘alaihissalam saja memohon kepada Allah agar punya teman seperjuangan yang bisa membantunya dan membenarkan perkataannya, yaitu Nabi Harun alaihissalam . Beliau berkata dalam Al-Quran:
وَأَخِي هَارُونُ هُوَ أَفْصَحُ مِنِّي لِسَاناً فَأَرْسِلْهُ مَعِيَ رِدْءاً يُصَدِّقُنِي إِنِّي أَخَافُ أَن يُكَذِّبُونِ
“Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku , maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku".[Al-Qashash:34]
10. Hilang dari pengajian dan kumpulan orang-orang yang shalih serta tengelam dengan kesibukan dunia
Penyebab terbesar futur adalah point ini. Majelis ilmu adalah tempat mere-charge keimanan kita, setelah terkikis dengan banyaknya fitnah dunia yang kita hadapi.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
“Tidaklah suatu kaum berkumpul di satu rumah Allah, mereka membacakan kitabullah dan mempelajarinya, kecuali turun kepada mereka ketenangan, dan rahmat menyelimuti mereka, para malaikat mengelilingi mereka dan Allah memuji mereka di hadapan makhluk yang ada didekatnya”. [HR. Muslim nomor 6793]
Dan orang-orang shalih adalah pendukung dan penguat iman kita dengan saling menasehati. Dimana dengan berteman dengan mereka, maka kita akan sering mengingat akherat dan menjadi tegar kembali dalam beragama. sebagaimana Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata,
وكنا إذا اشتد بنا الخوف وساءت منا الظنون وضاقت بنا الأرض أتيناه، فما هو إلا أن نراه ونسمع كلامه فيذهب ذلك كله وينقلب انشراحاً وقوة ويقيناً وطمأنينة
“Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan takut yang berlebihan, atau timbul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk, atau (ketika kami merasakan) kesempitan hidup, kami mendatangi beliau, maka dengan hanya memandang beliau dan mendengarkan ucapan beliau, maka hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.” [Al Waabilush Shayyib hal 48, cetakan ketiga, Darul Hadist, Asy-Syamilah]
Tidak sedikit kita mendengar berita:
-ikhwan yang dulunya semangat mengaji dan menjadi panitia-panitia kajian, kemudian bekerja di perusahaan kota A dengan gaji yang menggiurkan sekarang sudah potong jenggot, isbal, berpacaran dan seolah-olah menjauh dari ikhwan-ikhwan jika di sms atau ditelpon.
-akhwat yang dulunya semangat menuntut ilmu,memakai jilbab lebar, memakai cadar bahkan purdah, kemudian melanjutkan studi S2 atau S3 dikota B atau diluar negeri, kemudian terdengar kabar bahwa ia sudah memakai jilbab ala kadar yang kecil “atas mekkah bawah amerikah”.
Terkadang kita tidak percaya dengan berita-berita seperti ini. Bagaimana mungkin dulu ia adalah guru bahasa arab, imam masjid dan jadi rujukan pertanyaan, sekarang menjadi seperti itu. semua ini bisa jadi karena tenggelam dengan kesibukan dunia dan terkikis fitnah secara perlahan-lahan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memisalkannya seperti tikar, beliau bersabda:
تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا
“Fitnah-fitnah akan mendatangi hati bagaikan anyaman tikar yang tersusun seutas demi seutas”. [HR.Muslim no 144]
Demikian yang dapat kami jabarkan. Dan dampak dari beberapa kesalahan tersebut adalah:
Merasakan kesempitan hidup setelah mengenal dakwah ahlus sunnah
Dakwah tidak diterima oleh orang lain
Merusak nama dakwah salafiyah ahlus sunnah dan memberi kesan negatif
Memecah belah persatuan umat Islam
Kemudian marilah kita banyak-banyak berdoa agar diberi istiqomah beragama yang merupakan anugrah terbesar.
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
“Yaa muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘ala diinik” artinya: ‘Wahai Zat yang membolak-balikkan hati teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu’ [HR. Tirmidzi no 2066. Ia berkata: “Hadits Hasan”, dishahihkan oleh Adz-Dahabi]
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
==================================
Hukum Gambar Makhluk Bernyawa
Tanpa disadari, banyak keseharian kita yang dikelilingi hal-hal yang bertentangan dengan syariat. Salah satunya adalah dipajangnya gambar atau patung makhluk bernyawa di rumah kita. Foto keluarga hingga tokoh atau artis idola telah menjadi sesuatu yang sangat lazim dijumpai di rumah-rumah kaum muslimin. Bagaimana kita menimbang masalah ini dengan kacamata syariat?
Saudaraku...
Di rumah kita mungkin masih banyak bentuk/ gambar makhluk hidup, baik gambar dua dimensi ataupun tiga dimensi berupa patung, relief, dan semisalnya. Gambar–gambar itu seolah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan kita, karena di mana-mana kita senantiasa menjumpainya. Di dinding rumah ada kalender bergambar fotomodel dengan pose seronok. Di tempat yang sama, ada lukisan foto keluarga. Di atas buffet, ada foto si kecil yang tertawa ceria. Di ruang tamu ada patung pahatan dari Bali. Sedikit ke ruang tengah ada ukiran Jepara berbentuk burung-burung. Lebih jauh ke ruang keluarga ada lukisan bergambar manusia ataupun hewan. Begitu pula di kamar, di dapur bahkan di teras rumah, atau jauh di halaman ada patung dua ekor singa besar di kanan dan kiri pintu gerbang menyambut kehadiran anggota keluarga ataupun tamu yang hendak masuk rumah, seolah-olah merupakan patung selamat datang atau bahkan diyakini sebagai penjaga rumah dari marabahaya. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Belum lagi koleksi album foto keluarga, handai taulan, teman dan sahabat bertumpuk di meja tamu. Belum terhitung koran, majalah1, tabloid yang penuh dengan gambar dan lukisan dari yang sopan sampai yang paling tidak bermoral. Ini baru cerita di rumah kita, di rumah saudara, dan tetangga kita. Belum di tempat-tempat lain seperti di sekolah, di kantor, di toko, di perpustakaan, di pasar, di kampus, dan sebagainya. Benar-benar musibah yang melanda secara merata, wallahu al-musta’an.
Kenapa kita katakan tersebarnya gambar tersebut sebagai musibah? Karena di sana terdapat pelanggaran terhadap aturan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam, menyimpang dan berpaling dari hukum yang diturunkan dari langit.
Perintah Menghapus Gambar Makhluk yang Bernyawa ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu berkata kepada Abul Hayyaj Al-Asadi: “Maukah aku mengutus-mu dengan apa yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutusku? (Beliau mengatakan padaku):
أَلاَّ تَدَع تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ “Janganlah engkau membiarkan gambar kecuali engkau hapus dan tidak pula kubur yang ditinggikan kecuali engkau ratakan. HR. Muslim no. 2240, kitab Al-Jana`iz, bab Al-Amr bi Taswiyatil Qab
Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma berkata: “Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat ada gambar-gambar di dalam Ka’bah, beliau tidak mau masuk ke dalamnya sampai beliau memerintahkan agar gambar tersebut dihapus. Dan beliau melihat gambar Nabi Ibrahim dan Isma’il 'alaihimassalam di mana di tangan keduanya ada azlam (batang anak panah yang digunakan oleh orang-orang jahiliyyah untuk mengundi guna menentukan perkara/ urusan mereka). Beliau bersabda: قَاتَلَهُمُ اللهُ! وَاللهِ إِنِ اسْتَقْسَمَا بِاْلأَزْلاَمِ قَطُّ “Semoga Allah memerangi mereka! Demi Allah, keduanya sama sekali tidak pernah mengundi nasib dengan azlam.”HR. Al-Bukhari no. 3352, kitab Ahaditsul Anbiya‘, bab Qaulullahi ta’ala: Wattakhadzallahu Ibrahima Khalila
Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk kota Makkah pada hari Fathu Makkah, beliau dapatkan di sekitar Ka’bah ada 360 patung/ berhala, maka mulailah beliau menusuk patung-patung tersebut dengan kayu yang ada di tangan beliau seraya berkata:
جَاءَ الَحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ, جَاءَ الْحَقُّ وَمَا يُبْدِئُ الْبَاطِلُ وَمَا يُعِيْدُ “Telah datang al-haq (kebenaran) dan musnahlah kebatilan. Telah datang al-haq dan kebatilan itu tidak akan tampak dan tidak akan kembali.”Ar-RayahHR. Al-Bukhari no. 4287, kitab Al-Maghazi, bab Aina Rakazan Nabiyyu Yaumal Fathi dan Muslim no. 4601, kitab Al-Jihad was Sair, bab Izalatul Ashnam min Haulil Ka’bah
Larangan Membuat Gambar
Jabir radhiallahu 'anhu berkata:
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang mengambil gambar (makhluk hidup) dan memasukkannya ke dalam rumah dan melarang untuk membuat yang seperti itu.”HR. At-Tirmidzi no. 1749, kitab Al-Libas ‘An Rasulillah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bab Ma Ja`a fish Shurah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam Melaknat Pembuat/ Pelukis Gambar Makhluk yang Bernyawa
‘Aun bin Abi Juhaifah mengabarkan dari ayahnya bahwa ayahnya berkata: “Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang dari harga darah, harga anjing6, dan dari penghasilan budak perempuan (yang disuruh berzina). Beliau melaknat wanita yang membuat tato dan wanita yang minta ditato, demikian juga pemakan riba dan orang yang mengurusi riba. Sebagaimana beliau melaknat tukang gambar.”HR. Al-Bukhari no. 2238, kitab Al-Buyu’, bab Tsamanul Kalb
Gambar Bisa Disembah oleh Pengagungnya
‘Aisyah radhiallahu 'anha mengabarkan: “Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang sakit, sebagian istri-istri beliau ada yang bercerita tentang sebuah gereja bernama Mariyah yang pernah mereka lihat di negeri Habasyah. Mereka menyebutkan keindahan gereja tersebut dan gambar-gambar yang ada di dalamnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pun mengangkat kepalanya seraya berkata:“Mereka itu, bila ada seorang shalih di kalangan mereka yang meninggal dunia, mereka membangun masjid/ rumah ibadah di atas kuburannya. Kemudian mereka membuat gambar-gambar itu di dalam rumah ibadah tersebut. Mereka itulah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah.
Semua Pembuat/ Pelukis Gambar Makhluk Bernyawa Tempatnya di Neraka
Seseorang pernah datang menemui Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma. Orang itu berkata: “Aku bekerja membuat gambar-gambar ini, aku mencari penghasilan dengannya.” Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma berkata: “Mendekatlah denganku.” Orang itupun mendekati Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma. Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma berkata: “Mendekat lagi.” Orang itu lebih mendekat hingga Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma dapat meletakkan tangannya di atas kepala orang tersebut, lalu berkata: “Aku akan beritakan kepadamu dengan hadits yang pernah aku dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Aku mendengar beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النَّارِ، يَجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُوْرَةٍ صَوَّرَهَا نَفْسًا فَتُعَذِّبُهُ فِي جَهَنَّمَ
“Semua tukang gambar itu di neraka. Allah memberi jiwa/ ruh kepada setiap gambar (makhluk hidup) yang pernah ia gambar (ketika di dunia). Maka gambar-gambar tersebut akan menyiksanya di neraka Jahannam.”
Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma berkata kepada orang tersebut: “Jika kamu memang terpaksa melakukan hal itu (bekerja sebagai tukang gambar) maka buatlah gambar pohon dan benda-benda yang tidak memiliki jiwa/ ruh.”HR. Al-Bukhari no. 1341, kitab Al-Jana`iz, bab Bina‘ul Masajid ‘alal Qabr dan Muslim no. 1181, kitab Al-Masajid wa Mawadhi’ush Shalah, bab An-Nahyu ‘an Bina‘il Masajid ‘alal Qabr wat Tikhadzish Shuwar
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
مَنْ صَوَّرَ صُوْرَةً فِي الدُّنْيَا كُلِّفَ أَنْ يَنْفُخَ فِيْهَا الرُّوْحَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ, وَلَيْسَ بِنَافِخٍ
“Siapa yang membuat sebuah gambar (makhluk hidup) di dunia, ia akan dibebani untuk meniupkan ruh kepada gambar tersebut pada hari kiamat, padahal ia tidak bisa meniupkannya.”HR. Muslim no. 5506, kitab Al-Libas waz Zinah, bab Tahrimu Tashwiri Shuratil Hayawan
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu menerangkan bahwa pembuat gambar makhluk hidup mendapatkan cercaan yang keras dengan diberi ancaman berupa hukuman yang ia tidak akan sanggup memikulnya, karena mustahil baginya untuk meniupkan ruh pada gambar-gambar yang dibuatnya. Ancaman yang seperti ini lebih mengena untuk mencegah dan menghalangi orang dari berbuat demikian serta menghentikan pelakunya agar tidak terus melakukan perbuatan tersebut. Adapun orang yang membuat gambar makhluk bernyawa karena menghalalkan perbuatan tersebut maka ia akan kekal di dalam azab. (Fathul Bari, 10/484)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
===================================
Waspadai Perbuatan Tasyabbuh / Menyerupai Non Muslim
Al Ustadz Abu Musa Saifuddin Zuhri , Lc
Sesungguhnya setiap muslim telah dibimbing untuk senantiasa memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar ditunjukkan kepada jalan yang lurus, yaitu jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini sebagaimana doa yang selalu dilantunkan dalam shalat yakni saat membaca surat Al-Fatihah.
Surat tersebut mengandung permohonan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar bisa berpegang dengan ajaran Islam secara benar dan dijauhkan dari mengikuti jalan Yahudi dan Nashara. Namun barangkali karena tidak memahami apa yang terkandung dalam doa yang dibaca atau tidak menghadirkan hati ketika membacanya, maka kita melihat sebagian kaum muslimin banyak yang terjatuh dalam perbuatan meniru-niru orang kafir.
Diantara bentuk meniru-niru orang kafir yang banyak dilakukan oleh sebagian kaum muslimin adalah sebagai berikut:
1. Mengeramatkan kuburan/makam tertentu, mengagungkan orang-orang shalih secara berlebihan, serta menjadikan kuburan mereka sebagai masjid, yaitu dengan melakukan berbagai bentuk ibadah di atasnya atau dengan mengubur seseorang di masjid.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menjelaskan: “Dan di antara perbuatan bid’ah dan perkara yang mengantarkan pada perbuatan syirik adalah apa yang dilakukan di sekitar kuburan berupa shalat, membaca Al Qur’an, dan membangun masjid atau bangunan kubah di atasnya. Ini semua adalah bid’ah dan kemungkaran, serta menghantarkan pada syirik besar.
Oleh karena itu, telah datang hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda: “Allah melaknat Yahudi dan Nashara yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Kemudian setelah menyebutkan hadits lain yang semakna dengan hadits di atas, beliau rahimahullah menyatakan:
“Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam dua hadits ini dan hadits-hadits lainnya yang semakna dengan kedua hadits tersebut bahwasanya Yahudi dan Nashara menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan umatnya untuk tidak meniru-niru mereka dengan menjadikan kuburan sebagai masjid. Seperti shalat, i’tikaf, dan membaca Al Qur’an di kuburan, karena semua itu termasuk dari perkara-perkara yang akan menyebabkan kesyirikan. Termasuk dalam perkara ini adalah membuat bangunan di atas kuburan, membangun kubah, serta memberikan kain kelambu di atasnya. Maka semua itu adalah hal-hal yang menyebabkan kesyirikan dan berlebih-lebihan terhadap yang dikubur. Sebagaimana hal tersebut telah terjadi di kalangan Yahudi dan Nashara dan juga orang-orang bodoh dari umat sekarang ini…” (Fatawa Muhimmah Tata’allaq Bil ‘Aqidah, hal. 14-15 )
2. Merayakan perayaan-perayaan yang tidak ada dalam Islam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuji orang-orang yang tidak menyaksikan perayaan orang-orang kafir sebagaimana tersebut di dalam firman-Nya:
وَالَّذِيْنَ لاَيَشْهَدُوْنَ الزُّوْرَ
“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan az-zuur.” (Al-Furqan: 72)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata tentang tafsir ayat tersebut: “Dan sungguh telah berkata lebih dari satu orang dari kalangan salaf tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالَّذِيْنَ لاَيَشْهَدُوْنَ الزُّوْرَ
Mereka mengatakan (tentang makna az-zuur) yaitu hari-hari raya orang kafir. (Majmu Fatawa, 25/331)
Maka tidak boleh bagi kaum muslimin untuk menghadiri perayaan orang-orang kafir terlebih merayakannya.
Dan termasuk dalam hal ini adalah menjadikan hari raya mereka sebagai hari libur, seperti mengkhususkan hari Sabtu dan Ahad sebagai hari libur.
Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa Arab Saudi) menyebutkan dalam fatwanya: “Tidak boleh mengkhususkan hari Sabtu atau Ahad sebagai hari libur, atau menjadikan keduanya sebagai hari libur karena hal itu termasuk meniru-niru orang Yahudi dan Nashara. Karena sesungguhnya Yahudi meliburkan hari Sabtu dan Nashara meliburkan hari Ahad dalam rangka memuliakan kedua hari tersebut…” (Fatawa Al-Lajnah, 2/75)
Kemudian lebih rinci Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan: “Tidak boleh bagi kaum muslimin untuk meniru-niru mereka dalam hal-hal yang dikhususkan untuk perayaan-perayaan mereka. Tidak pula dalam makanan, pakaian, mandi, menyalakan api, meliburkan kebiasaan bekerja atau beribadah, atau yang selainnya. Dan tidak boleh untuk mengadakan pesta, memberikan hadiah, atau menjual sesuatu yang membantu dan bertujuan untuk acara tersebut. Serta tidak boleh membiarkan anak-anak kecil atau yang seusianya untuk bermain-main kaitannya dengan perayaan tersebut dan tidak boleh memasang hiasan (menghiasi rumah/ tempat tertentu dalam rangka menyemarakkan perayaan tersebut, pent).” (Majmu’ Fatawa, 25/329)
Namun sangat disayangkan masih banyak di antara kaum muslimin yang meniru-niru perayaan mereka. Bahkan ada yang ikut serta merayakan hari raya mereka. Di antaranya ada yang memberikan ucapan selamat atau ikut meramaikannya dengan berbagai acara seperti meniup terompet pada malam tahun baru dan yang semisalnya. Serta memasang hiasan-hiasan di rumahnya pada saat perayaan mereka.
Selanjutnya termasuk dalam hal ini adalah memperingati hari kelahiran seseorang baik itu memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (perayaan Maulud Nabi) atau hari kelahiran lainnya. Begitu pula merayakan peristiwa-peristiwa tertentu seperti Isra’ Mi’raj, awal tahun baru Hijriyyah, serta merayakan hari atau pekan tertentu sebagai hari khusus untuk beramal seperti hari ibu, pekan kebersihan, dan sebagainya.
Ini bukan berarti kaum muslimin mengabaikan serta tidak mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa tersebut. Bahkan kaum muslimin senantiasa dituntut untuk selalu mengisi hari-harinya dengan kegiatan yang bermanfaat dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun (hal ini dilarang) karena perayaan adalah salah satu bentuk ibadah yang tidak boleh dikhususkan dengan dilakukan secara berulang-ulang (ditradisikan, red) kecuali ada perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala atau Rasul-Nya.
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan: “…Dan perbuatan ini (perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pent) tidak pernah dilakukan pada masa-masa terbaik umat ini, akan tetapi ini hanyalah perbuatan yang diada-adakan pada abad ke-6 Hijriyah dalam rangka mengikuti Nashara yang merayakan hari kelahiran Al-Masih ‘alaihissalam Dan sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dari meniru-niru mereka.” (Al-Khuthab Al-Mimbariyyah, hal. 89)
Jika orang-orang terbaik dari umat ini tidak melakukannya, lalu apa yang menyebabkan seseorang melakukannya? Apakah dirinya merasa lebih tahu dan lebih tinggi ilmunya dari para shahabat? Ataukah dia menganggap para shahabat lebih tahu namun mereka tidak mau mengamalkan ilmunya? Sungguh betapa jelasnya kesesatan yang ia lakukan.
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah juga menyatakan:“Dan termasuk mengikuti mereka (orang-orang kafir, pent) di dalam perayaan-perayaan baik yang bersifat syirik ataupun bid’ah adalah seperti memperingati perayaan-perayaan hari kelahiran, baik kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kelahiran para pemimpin atau penguasa. Dan kadang-kadang perayaan-perayaan yang sifatnya syirik dan bid’ah ini diberi nama dengan penyebutan hari-hari atau pekan-pekan. Seperti hari kemerdekaan, hari ibu, atau pekan kebersihan.” (Al-Khuthab, hal. 43)
3. Menggunakan kalender Masehi (kalender orang kafir) dan meninggalkan kalender Islam (Hijriyyah)
Sebagian besar kaum muslimin saat ini hampir tidak lepas dari kalender Masehi. Bahkan sebagian mereka nampak tidak peduli dengan kalender Hijriyyah. Terbukti, ketika ditanya kepada sebagian saudara-saudara kita kaum muslimin tentang bulan hijriyyah, maka banyak di antara mereka yang tidak hafal atau tidak mengetahuinya. Padahal penggunaan kalender hijriyyah sangat penting, karena banyak berhubungan dengan amalan ibadah seperti puasa wajib dan sunnah, ibadah haji, dan lainnya.
Al-Lajnah Ad-Daimah dalam fatwanya berkenaan seputar tahun 2000 M menyebutkan: “Kemuliaan bagi kaum muslimin adalah berpegangnya mereka dengan kalender hijrah Nabi mereka Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana shahabat telah menyepakatinya. Mereka menggunakannya sebagai kalender tanpa ada perayaan (tahun baru, pent) dan kaum muslimin telah mewarisinya 14 abad setelah mereka sampai hari ini. Maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk berpaling dari kalender Hijriyyah dan mengambil kalender lainnya yang digunakan manusia seperti kalender masehi. Hal itu berarti telah meminta ganti sesuatu yang lebih baik dengan sesuatu yang lebih buruk.”
4. Meniru-niru aturan, kebiasaan, serta akhlak orang kafir.
Semestinya seorang muslim selalu berpegang kuat dengan agamanya dalam seluruh aspek kehidupannya baik akidah, tata cara beribadah, aturan-aturan pergaulan, akhlak, maupun kebiasaannya. Namun masih banyak dari kaum muslimin yang kurang memperhatikan masalah ini. Maka tentunya hal ini menunjukkan lemahnya iman. Mereka tidak tahu bahwa dirinya telah tertipu dengan meninggalkan ajaran yang mulia dan mengambil ajaran yang rendah dan hina.
Di antara bentuk-bentuk meniru orang kafir dalam masalah ini seperti:
[1] Menggunakan aturan sosialis, sekuler, demokrasi, dan yang semisalnya dari aturan-aturan tata negara yang dibuat orang kafir. Demikian pula dalam sistem ekonomi seperti sistem riba dan sebagainya. Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Termasuk bentuk meniru-niru orang kafir adalah menjalankan aturan-aturan dan perundang-undangan orang kafir. Atau ajaran-ajaran yang berbahaya seperti ajaran sosialis dan ajaran sekuler yang membedakan antara agama dan pemerintahan, serta yang lainnya dari hukum, aturan ekonomi, dan aturan lainnya…” (Al-Khuthab, 2/168)
[2] Berbangga diri dengan menggunakan bahasa orang kafir atau menggunakannya tanpa ada kebutuhan. Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Dan termasuk dalam bentuk meniru-niru orang kafir adalah bercakap-cakap dengan bahasa orang-orang kafir pada kebutuhan yang tidak mendesak. Serta menulis dengan bahasa mereka di tempat-tempat berjualan di negara kaum muslimin. Atau mencampur kalimat dan istilah-istilah dari bahasa mereka di dalam buku-buku Islam dan karya-karya lainnya.” (Al-Khuthab, 2 / 168)
[3] Mencukur jenggot dan membiarkan kumis memanjang, serta menggunakan pakaian yang meniru-niru mereka dengan bentuk model yang tidak menutup aurat baik karena bentuknya yang ketat ataupun yang tipis kainnya (lihat Al-Khuthab, 1/102-104). Dan sebenarnya masih banyak sekali yang lainnya, yang tidak bisa kita sebutkan dalam kesempatan ini karena terbatasnya tempat.
[4] Tidak menyukai tersebarnya kebenaran, dan hasad terhadap ilmu serta keutamaan yang Allah berikan kepada ahlul ilmi, dan berbagai akhlak jelek lainnya.
Di dalam kitab Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah menyebutkan beberapa akhlak Yahudi yang banyak ditiru oleh sebagian kaum muslimin. Diantaranya:
Mereka hasad terhadap hidayah dan ilmu yang Allah Subhanahu Wata’ala berikan kepada kaum muslimin.
Mereka menyembunyikan ilmu, baik karena bakhil yaitu agar selain mereka tidak mendapatkan keutamaan, atau karena takut akan dijadikan hujjah untuk membuktikan kesalahan mereka.
Mereka tidak mengakui kebenaran kecuali apa yang sesuai dengan kaum mereka.
Mereka merubah Kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala baik lafadz ataupun maknanya.(Lihat Al-Iqtidha, 1/83-88)
Demikianlah secara ringkas sebagian kecil dari bentuk-bentuk tasyabbuh bil kuffar. Sesungguhnya masih banyak yang belum disebutkan karena sedikitnya ilmu dan lembar yang terbatas. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hidayah dan taufiq-Nya kepada kita semua agar bisa berpegang dengan ajaran Islam dan diselamatkan dari segala bentuk meniru-niru orang kafir.
Karena seorang muslim semestinya tahu bahwa tidak ada agama yang diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali agama Islam, dan bahwa agama ini telah menghapus agama-agama yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya. Sehingga kalau agama yang benar yang dibawa oleh para rasul saja dihapus dengan datangnya agama yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, lalu bagaimana dengan agama yang sudah berubah sebagaimana agama Yahudi dan Nashara yang ada sekarang ini? Maka tentunya sangatlah tercela perbuatan orang-orang yang meniru-niru orang kafir.
Wallahu ta’ala a’lam bish shawab.
===================================
Sahabatku menceritakan:
Ini cerita tentang adikku Nur Annisa, gadis yang baru beranjak dewasa namun agak bengal dan tomboy. Pada saat umur adikku menginjak 17 tahun, perkembangan tingkah lakunya agak mengkhawatirkan ibuku, banyak teman cowoknya yang datang kerumah dan hal itu membuat ibuku merasa tidak nyaman karena beliau seorang guru ngaji.Untuk mengantisipasi hal itu ibuku menyuruh adikku memakai jilbab, namun selalu ditolaknya hingga timbul pertengkaran-pertengkaran kecil diantara mereka.
Pernah satu kali adikku berkata dengan suara yang agak keras: "Mama coba lihat deh, tetangga sebelah anaknya pakai jilbab namun kelakuannya ngga beda ama kita-kita, malah teman-teman Ani yang di sekolah pake jilbab dibawa sama om-om, sering jalan-jalan, masih mending Ani, walaupun begini-gini Ani nggak pernah ma kaya gituan."
Bila sudah seperti itu ibuku hanya mengelus dada, kadangkala di akhir malam kulihat ibuku menangis, lirih terdengar doanya: "Ya Allah, kenalkan Ani dengan hukum Engkau ya Allah."
Pada satu hari didekat rumahku, ada tetangga yang baru pindah. Satu keluarga mempunyai enam anak yang masih kecil kecil. Bapak itu bernama Abu Khoiri, aku kenal dengannya waktu di masjid. Setelah beberapa lama mereka pindah timbul desas-desus mengenai istri dari Abu Khoiri yang tidak pernah keluar rumah, hingga dijuluki si buta, bisu dan tuli. ini terdengar pula oleh Adikku, dan dia bertanya sama aku: "Kak, memang yang baru pindah itu istrinya buta, bisu dan tuli?" ...."Hus..., aku jawab sambil lalu, kalau kamu mau tau datangin aja langsung kerumahnya." Eehhh.... tuuh anak, benar-benar datang kerumah tetangga baru. Sekembalinya dari rumah tetanggaku, kulihat perubahan yang drastis pada wajahnya, wajahnya yang biasa cerah nggak pernah muram atau lesu mejadi pucat pasi ….Entah apa yang terjadi?
Namun tidak kusangka selang dua hari kemudian dia meminta pada ibuku untuk dibuatkan Jilbab yang panjang, juga rok panjang, lengan panjang …aku sendiri jadi bingung ….aku tambah bingung campur syukur kepada Allah Subhanahu wa ta'ala karena kulihat perubahan yang ajaib... yah, kubilang ajaib karena dia berubah total ...tidak banyak lagi anak cowok yang datang kerumah atau teman-teman wanitanya untuk sekedar bicara yang nggak karuan ...kulihat dia banyak merenung, banyak baca-baca majalah Agama Islam, yang biasanya dia suka membeli majalah anak muda spt gadis atau femina ganti jadi majalah-majalah Islam, dan kulihat ibadahnya pun melebihi aku …tak ketinggalan tahajudnya, baca Qur'annya, sholat sunatnya …dan yang lebih menakjubkan lagi ...bila teman ku datang dia menundukkan pandangan …Segala puji bagi Engkau ya Allah...., jerit hatiku
Tidak berapa lama aku dapat panggilan kerja di kalimantan, kerja di satu perusahaan asing (PMA). Dua bulan aku bekerja disana aku dapat kabar bahwa adikku sakit keras hingga ibuku memanggil ku untuk pulang ke rumah (rumahku di Madiun). Di pesawat tak henti hentinya aku berdoa kepada Allah ....agar adikku diberi kesembuhan, namun aku hanya berusaha, ketika aku tiba di rumah, didepan pintu sudah banyak orang, tak dapat kutahan .....aku lari masuk kedalam rumah, kulihat ibuku menangis, aku langsung menghampiri dan memeluk ibuku, sambil tersendat-sendat ibuku bilang sama aku: "Dhi, adikkmu bisa ucapkan dua kalimat Syahadah diakhir hidupnya "...Tak dapat kutahan air mata ini...
Setelah selesai acara penguburan dan lainnya, iseng aku masuk kamar adikku dan kulihat Diary diatas mejanya.....Diary yang selalu dia tulis, Diary tempat dia menghabiskan waktunya sebelum tidur kala kulihat sewaktu almarhumah adikku masih hidup, kemudian kubuka selembar demi selembar ...hingga tertuju pada satu halaman yang menguak misteri dan pertanyaan yang selalu timbul di hatiku ...perubahan yang terjadi ketika adikku baru pulang dari rumah Abu Khoiri ....disitu kulihat tanya jawab antara adikku dan istri dari tetanggaku, isinya seperti ini :
Tanya jawab ( kulihat dilembaran itu banyak bekas tetesan airmata ):
Annisa : Aku berguman (wajah wanita ini cerah dan bersinar layaknya bidadari), ibu, wajah ibu sangat muda dan cantik.
Istri tetanggaku : Alhamdulillah, sesungguhnya kecantikan itu datang dari lubuk hati.
Annisa : Tapi ibu kan udah punya anak enam, tapi masih kelihatan cantik.
Istri tetanggaku : Subhanallah, sesungguhnya keindahan itu milik Allah dan bila Allah berkehendak, siapakah yang bisa menolaknya.
Annisa : Ibu, selama ini aku selalu disuruh memakai jilbab oleh ibuku, namun aku selalu menolak karena aku pikir nggak masalah aku nggak pakai jilbab asal aku tidak macam macam dan kulihat banyak wanita memakai jilbab namun kelakuannya melebihi kami yang tidak memakai jilbab, hingga aku nggak pernah mau untuk pakai jilbab, menurut ibu bagaimana?
Istri tetanggaku : Duhai Annisa, sesungguhnya Allah menjadikan seluruh tubuh wanita ini perhiasan dari ujung rambut hingga ujung kaki, segala sesuatu dari tubuh kita yang terlihat oleh bukan mahram kita semuanya akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah diakhirat nanti, jilbab adalah hijab untuk wanita.
Annisa : Tapi yang kulihat banyak wanita yang memakai jilbab yang kelakuannya nggak enak, nggak karuan.
Istri Tetanggaku : Jilbab hanyalah kain, namun hakekat atau arti dari jilbab itu sendiri yang harus kita pahami.
Annisa : Apa itu hakekat jilbab ?
Istri Tetanggaku : Hakekat jilbab adalah hijab lahir batin. Hijab mata kamu dari memandang lelaki yang bukan mahram kamu. Hijab lidah kamu dari berghibah (ghosib) dan kesia-siaan, usahakan selalu berdzikir kepada Allah. Hijab telinga kamu dari mendengar perkara yang mengundang mudharat baik untuk dirimu maupun masyarakat. Hijab hidungmu dari mencium segala yang berbau busuk. Hijab tangan-tangan kamu dari berbuat yang tidak senonoh. Hijab kaki kamu dari melangkah menuju maksiat. Hijab pikiran kamu dari berpikir yang mengundang syetan untuk memperdayai nafsu kamu. Hijab hati kamu dari sesuatu selain Allah, bila kamu sudah bisa maka jilbab yang kamu pakai akan menyinari hati kamu, itulah hakekat jilbab.
Annisa : Ibu aku jadi jelas sekarang dari arti jilbab, mudah mudahan aku bisa pakai jilbab, namun bagaimana aku bisa melaksanakan semuanya.
Istri tetanggaku : Duhai Anisa bila kamu memakai jilbab itulah karunia dan rahmat yang datang dari Allah yang Maha Pemberi Rahmat, yang Maha Penyayang, bila kamu mensyukuri rahmat itu kamu akan diberi kekuatan untuk melaksanakan amalan-amalan jilbab hingga mencapai kesempurnaan yang diinginkan Allah.
Duhai Anisa, ingatlah akan satu hari dimana seluruh manusia akan dibangkitkan dari kuburnya. Ketika ditiup terompet yang kedua kali, pada saat roh-roh manusia seperti anai-anai yang bertebaran dan dikumpulkan dalam satu padang yang tiada batas, yang tanahnya dari logam yang panas, tidak ada rumput maupun tumbuhan. Ketika tujuh matahari didekatkan di atas kepala kita namun keadaan gelap gulita. Ketika seluruh Nabi ketakutan. Ketika ibu tidak memperdulikan anaknya, anak tidak memperdulikan ibunya, sanak saudara tidak kenal satu sama lain lagi, kadang satu sama lain bisa menjadi musuh, satu kebaikan lebih berharga dari segala sesuatu yang ada di alam ini. Ketika manusia berbaris dengan barisan yang panjang dan masing- masing hanya memperdulikan nasib dirinya, dan pada saat itu ada yang berkeringat karena rasa takut yang luar biasa hingga menenggelamkan dirinya, dan rupa-rupa bentuk manusia bermacam- macam tergantung dari amalannya, ada yang melihat ketika hidupnya namun buta ketika dibangkitkan, ada yang berbentuk seperti hewan, ada yang berbentuk seperti syetan, semuanya menangis, menangis karena hari itu Allah murka, belum pernah Allah murka sebelum dan sesudah hari itu, hingga ribuan tahun manusia didiamkan Allah dipadang mahsyar yang panas membara hingga Timbangan Mizan digelar itulah hari Yaumul Hisab.
Duhai Annisa, bila kita tidak berusaha untuk beramal dihari ini, entah dengan apa nanti kita menjawab bila kita di sidang oleh Yang Maha Perkasa, Yang Maha Besar, Yang Maha Kuat, Yang Maha Agung, Allah Subhanahu wa Ta'ala. Di Yaumul Hisab nanti! Di Hari Perhitungan nanti!!
Sampai di sini aku berhenti membaca diarynya karena kulihat, banyak tetesan airmata yang jatuh dari pelupuk matanya, Subhanallah...., kubalik lembar berikutnya kemudian kulihat tulisan kecil di bawahnya: buta, tuli dan bisu, wanita yang tidak pernah melihat lelaki selain mahramnya, wanita yang tidak pernah mau mendengar perkara yang dapat mengundang murka Allah, wanita yang tidak pernah berbicara ghibah, ghosib dan segala sesuatu yang mengundang dosa dan sia-sia..... Tak tahan airmata ini pun jatuh membasahi diary almarhumah adikku.
Itulah yang dapat saya baca dari diarynya, semoga Allah menerima Adikku disisinya, Aamiin...... SubhanAllah.
Wassalaamu'alaikum warahmatullaahi wabarakatuh.
Hikmah di balik cerita ini:
Menjawab Syubhat yang banyak dilontarkan oleh orang yang tidak mau memakai jilbab, bahwa tidak ingin memakai jilbab sebelum hati bersih. Sesungguhnya jilbab itu bukan untuk menutupi hati, tapi untuk menutup aurat, melaksanakan perintah Allah dan menghindar dari perbuatan dosa karena membuka aurat.
Hijab yang sebenarnya adalah ilmu tentang apa yang harus di hijab oleh seorang wanita, dan ilmu itu kita amalkan. Jika kita mengetahui ilmunya, dan tidak mengamalkan, maka tiada berguna ilmu bagi diri kita.
Seorang wanita yang justru mentaati perintah Allah dan Rasulnya, maka bersiaplah untuk menerima cemoohon dari orang2 yang tidak paham tentang agama ini, dan bersabarlah. Dan bergembiralah atas gosip2 yang menerpa diri-diri kalian, sesungguhnya mereka akan mentransfer pahala mereka atas gossip yang mereka lakukan terhadap kalian kelak di hari perhitungan.
Keutamaan orang yang berilmu, dengan ilmunya dia dapat membimbing manusia ke jalan yang haq.
Wllaohua’lam.
===================================
===================================
===================================
===================================
===================================
===================================
===================================
===================================
===================================
===================================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar